Makalah Etika Bisnis Perusahaan 3
Thursday, September 8, 2016
2. Perspektif
Bisnis Mikro
Dalam Iingkup ini perilaku
etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai
relasi di mana supplier,perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan
kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai
penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang
mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral merupakan
tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan
keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika
normatif.
Dua prinsip yang menjadi acuan dimensi
etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
1.
Prinsip
konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus
pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau
tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut
2.
Prinsip
tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari
rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan
keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip
Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk
tidak saling melanggar hak orang lain (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang
biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat
dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
·
Keadilan
distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan
beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya
terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan,
pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban
social.
·
Keadilan
retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan
hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi
negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas
paksaan pihak lain.
·
Keadilan
kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang
dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan
barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus
kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu
pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai
rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota
suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Karena itu diperlukan
pemahaman pula akan berbagai contoh kasus etika bisnis yang lebih luas.
IV.
PENERAPAN ETIKA PADA ORGANISASI PERUSAHAAN
Dapatkan pengertian moral
seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban diterapkan terhadap
kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai perilaku
moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas
masalah ini:
Ekstrem pertama, adalah
pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat, organisasi
memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti
individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita
dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka
dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian
yang sama yang dilakukan manusia.
Ekstrem kedua, adalah
pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal berpikir bahwa
organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti
standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral.
Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta
mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya,
lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara
moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi
seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Karena itu, tindakan
perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral
dan tanggung jawab moral: individu manusia bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir
dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan
itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam
perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh
pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara bermoral.
MACAM-MACAM
HAK PEKERJA
1. Hak atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan
merupakan suatu hak asasi manusia. Karena, pertama, sebagai mana dikatakan John
Locke, kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktivitas tubuh dan
karena itu tidak bisa dilepaskan atau
dipikirkan lepas dari tubuh manusia. Karena tubuh adalah milik kodrati atau
asasi setiap orang, dan karena itu tidak bisa dicabut, dirampas, atau diambil
darinya, maka kerja pun tidak bias dicabut, dirampas, atau diambil dari
seseorang. Maka, sebagaimana halnya tubuh dan kehidupan merupakan salah satu
hak asasi manusia, kerja pun merupakan salah satu hak asasi manusia. Bersama
hak atas hidup dan tubuh, hak atas kerja dimiliki manusia hanya karena dia
adalah manusia. Ia melekat pada manusia sebagai manusia sejak lahir dan
seorangpun tak dapat merampasnya.
Kedua, kerja merupakan
perwujudan diri manusia. Melalui kerja, manusia merealisasikan dirinya sebagai
manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi.
Melalui kerja manusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia mandiri.
Ketiga, hak atas kerja
juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak
atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak. Hanya dengan dan melalui kerjanya
manusia dapat hidup dan juga dapat hidup secara layak sebagai manusia. Karena
dengan pentingnya, hak ini lalu dikodifikasi dalam hukum positif oleh Negara
tertentu. Indonesia misalnya, dengan jelas mencantumkan, dan berarti menjamin
sepenuhnya, hak atas pekerjaan ini. Pasal 27, ayat 2, UUD 1945 dengan tegas
menyatakan bahwa “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Ini berarti negara kita mengakui dan menjamin hak
atas pekerjaan sebagai hak asasi (demi kemanusiaan), dan juga karena hak ini
berkaitan dengan penghidupan yang layak sebagai manusia. Ini menunjukkan bahwa
jauh sebelum Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB, yang juga
menganggap hak atas pekerjaan sebagai suatu hak asasi manusia, Indonesia telah
mengakui hak atas pekerjaan sebagai suatu hak asasi yang dimiliki setiap warga.
2. Hak atas Upah yang Adil
Hak atas upah yang adil
merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri
untuk bekerja pada suatu perusahaan. Karena itu perusahaan yang bersangkutan
mempunyai kewajiban untuk memberikan upah yang adil. Dalam hak atas upah yang
adil ada tiga hal yang harus ditegaskan.
Pertama, bahwa setiap pekerja berhak
mendapatkan upah. Artinya, setiap pekerja berhak untuk dibayar. Ini merupakan
tuntutan yang harus dipenuhi. Dalam kerangka keadilan komutatif ini merupakan
hak sempurna, yaitu hak yang dituntut untuk dipenuhi perusahaan dan bahkan
setiap pekerja berhak memaksa perusahaan untuk memenuhinya.
Kedua, setiap orang tidak hanya berhak
memperoleh upah, tetapi juga berhak untuk memperoleh upah yang adil, yaitu upah
yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
Ketiga, hak atas upah yang adil adalah
bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif
dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan. Dengan kata lain, harus
berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Maksudnya, tidak
boleh ada tingkat upah yang berbeda-beda antara satu pekerja dengan pekerja
yang lain untuk bidang pekerjaan yang sama, kecuali atas dasar pertimbangan
yang rasional dan objektif dan dari segi moral dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka dan transparan. Halaman Selanjutnya Hal 4